Meriahnya Festival Ogoh-Ogoh di GWK: Pesona Budaya Bali yang Membara

Ogoh-ogoh di Bawah Patung Garuda Wisnu Kencana

Puluhan Ogoh-Ogoh setinggi 4-5 meter memenuhi pelataran Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali, pada Sabtu (16/3/2024), menandai puncak Festival Ogoh-Ogoh tahunan. Ribuan pengunjung lokal maupun turis mancanegara memadati area seluas 2 hektar ini sejak pagi, tak ingin melewatkan parade spektakuler yang hanya digelar sekali setahun. “Ini lebih meriah daripada tahun lalu! Warna dan energinya luar biasa,” ucap Made, wisatawan asal Prancis, sambil mengarahkan kamera drone ke kerumunan.

Panitia menyebut, tahun ini sebanyak 45 Ogoh-Ogoh dari berbagai banjar di Bali ikut serta. Mereka bersaing memperebutkan gelar Best Artistic  dengan hadiah total Rp 250 juta. Tak hanya mengusung tema mitologi, beberapa peserta menampilkan sosok tokoh global kontroversial seperti Elon Musk dan Kim Jong-un dalam bentuk raksasa.

ogoh ogoh


Prosesi Sakral hingga Panggung Spektakuler

Ritual Melaspas: Penyucian Ogoh-Ogoh Sebelum Tampil

Sepekan sebelum festival, para seniman dan pemuda banjar menggelar upacara melaspas (ritual penyucian) untuk Ogoh-Ogoh di Pura Desa setempat. Mereka memimpin prosesi dengan persembahan canang sari dan kidung mantra. “Kami percaya roh jahat dalam Ogoh-Ogoh harus dinetralkan sebelum diarak,” jelas Ketut Sudarsana, koordinator seniman Ogoh-Ogoh Gianyar.

Koreografi Massal dengan 500 Penari

Sesaat sebelum parade, 500 penari dari sanggar se-Bali membuka acara dengan tarian Caci kolosal. Mereka menggebrak tanah dengan tongkat bambu, menciptakan irama gemuruh yang menggema hingga ke kaki patung GWK. Penonton pun ikut bertepuk tangan mengikuti hentakan gamelan elektronik yang dipadukan dengan musik tradisional.


Parade Ogoh-Ogoh: Pertaruhan Prestise Antar Banjar

Ogoh-Ogoh “AI Robot” Curi Perhatian

Banjar Kuta Selatan mengejutkan penonton dengan Ogoh-Ogoh berbentuk robot raksasa bercat chrome. Mereka memasang lampu LED dan sensor gerak sehingga mata robot bisa berkedip. “Ini simbol kekhawatiran kami akan dominasi teknologi,” terang Wayan Artawan, ketua tim perancang, sambil menunjukkan tuas pengendali nirkabel.

Kreasi Ramah Lingkungan dari Sampah Plastik

Sementara itu, Banjar Ubud menampilkan berbahan dasar 800 kg sampah plastik. Mulai dari botol bekas hingga kemasan mi instan, seluruh material mereka dapatkan dari bersih-bersih pantai. “Kami ingin Ogoh-Ogoh tak sekadar ritual, tapi juga ajakan menjaga alam,” ujar Ni Luh Putu, koordinator tim daur ulang.


Interaksi Pengunjung: Dari Selfie hingga Workshop Mini

Zona Foto 360 Derajat dengan Ogoh-Ogoh

Panitia menyediakan lima spot foto interaktif. Pengunjung bisa berpose seolah-olah sedang melawan raksasa atau duduk di bahu  melalui teknik augmented reality. “Asyik banget! Foto saya seperti di film Pacific Rim,” kata Dinda, turis asal Jakarta, sambil menunjukkan hasil jepretan di layar ponsel.

Belajar Membuat Ogoh-Ogoh Skala Mini

Di sisi timur area, puluhan anak mengikuti workshop pembuatan  mini dari bahan kertas daur ulang. Seniman lokal mengajarkan teknik membentuk kerangka bambu hingga mengecat karakter. “Aku bikin mirip raksasa di game favoritku!” seru Kadek, peserta termuda berusia 7 tahun.


Dukungan Teknologi: Festival Tradisional Goes Digital

Live Streaming VR untuk Penonton Global

Bagi yang tak hadir langsung, panitia menyediakan layanan live streaming virtual reality (VR) 360 derajat. Pengguna bisa “berjalan” di antara  melalui aplikasi GWK Festival. “Sudah 15.000 orang daftar dari 40 negara,” papar Manajer Digital GWK, Agung Pratama.

NFT Ogoh-Ogoh: Koleksi Digital bagi Pecinta Seni

Enam desain  pemenang tahun lalu kini tersedia sebagai NFT (Non-Fungible Token). Karya seni digital ini terjual Rp 50-200 juta per item di platform blockchain. “Ini cara melestarikan budaya lewat teknologi,” ujar Gede Wijaya, seniman perancang NFT Ogoh-Ogoh.


Dampak Ekonomi: Geliat UMKM dan Pariwisata

Lapak Kuliner Tradisional Laris Manis

Ratusan pedagang UMKM menggelar stan kuliner di sepanjang jalur parade. Sate lilit, lawar, dan jaje Bali menjadi primadona. Ibu Komang, penjaja es daluman, mengaku habis 300 porsi dalam tiga jam. “Pendapatan hari ini setara dua bulan biasa,” ujarnya sambil mengaduk santan.

Hotel di GWK Capai Okupansi 95%

Segmen pariwisata ikut menikmati efek festival. Kamar hotel dalam radius 5 km dari GWK nyaris penuh sejak tiga hari sebelumnya. “Tarif kamar suite naik 200%, tetap ludes,” kata Manajer Hotel Ayodya, Putu Wiranata.


Penutup: Ogoh-Ogoh bukan Sekadar Ritual, Tapi Simbol Dinamika Budaya

Festival Ogoh-Ogoh di GWK membuktikan tradisi bisa beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan esensi. Dari robot futuristik hingga NFT, kreasi seniman Bali menunjukkan bahwa budaya bukanlah sesuatu yang statis. Seperti kata Cokorda Raka, budayawan Bali: “Ogoh-Ogoh adalah cermin: ia menampilkan ketakutan kita hari ini, lalu kita bakar esok hari sebagai simbol pembaruan.

4 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *